Sunday, September 19, 2010

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARI'AH

RIBA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARI’AH
*oleh: M. Nur Kholis Al Amin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam mengatur tatacara melaksanakan kehidupan yang mencakup bidang ibadat dan kemasyarakatan, sedang tatacara berkeyakinan kepada Tuhan dan sebagainya serta tatacara bertingkah laku dalam ukuran-ukuran akhlak, lazimnya tidak dibicarakan dalam hukum Islam.
Dengan demikian dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan tentang tatacara melakukan ibadat, perkawinan, kewarisan, perjanjian-perjanjian muamalat, hidup bernegara yang mencakup kepidanaan, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan sebagainya.
Dalam makalah ini akan membahas tentang salah satu bagian dari perjanjian muamalat yang dilarang oleh agama dalam hutang piutang, yakni riba.
Islam sangat menjunjung tinggi suatu pekerjaan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hambanya dengan tangannya sendiri (kemampuan) dan begitu pula dengan “dagang” jual beli sebagaimana tercermin dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Al Bazār:
عن رفاعة بن رافع أن النبي ص سئل: أي الكسب اطيب؟ قال: عمل الرجل بيده, وكل بيع مبرور. رواه البزار وصححه الحاكم.
Hadis di atas menegaskan bahwa bentuk jual beli yang diharapkan oleh agama adalah bentuk jual beli yang sah, sahih dan sehat tanpa adanya pihak yang dirugikan, hal ini selaras dengan akad hutang piutang yang harus dilakukan dengan bentuk yang sehat pula. Sebagaimana tercermin dalam ayat Al Quran sebagai berikut:
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل....
Dengan demikian bentuk hutang piutang yang berlawanan dengan bentuk hutang piutang yang sehat dilarang oleh Agama. Oleh karena itu, pembahasan “Riba” dalam konteks kekinian perlu dipertegas lagi dalam menggali hukum riba menurut perspektif ekonomi syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Riba
Inti makna kata “riba” secara leksikal adalah bertambah, membesar, menjadi tambah banyak, tumbuh, berkembang atau naik. Kata kerja lampau “rabā” artinya “bertambah” dan ‘berkembang’. Rabā al-māl artinya ‘harta itu bertambah’ atau ‘berkembang’.
Secara terminologi Joseph Schacht mendefinisikan ribā sebagai keuntungan tanpa adanya kontrak nilai yang telah diisyaratkan oleh satu pihak yang mengadakan kontrak dalam mempertukarkan dua jenis barang yang bernilai.  Sedangkan menurut ulama’ syafi’iyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Anwar ribā adalah “melakukan transaksi atas suatu objek tertentu yang pada waktu melakukannya tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syar’i [artinya ada kelebihan] atau dengan menunda penyerahan kedua atau salah satu objek.
Profesor Syamsul Anwar mendefinisikan riba adalah kelebihan (tambahan) yang diperoleh dan tidak ada imbalannya serta dapat dituntut oleh salah satu pihak dalam suatu proses transaksi yang bersifat timbal balik.
B.    Riba dalam Konteks Kekinian
Dengan perkembangan zaman dan disertai pula dengan perkembangan transaksi keuangan dalam dunia modern ini, tampaknya ada perbedaan penafsiran tentang riba, hal ini dapat di ketahui dengan adanya sistem bunga di beberapa institusi bahkan pribadi seseorang yang melakukan transaksi hutang piutang atau pinjaman.
Diantara pandangan-pandangan tentang riba ada yang menyatakan bahwa yang termasuk adalah suatu tambahan yang berlipat ganda ‘أضعا فا مضاعفة’ sehingga melahirkan pemahaman bahwa adanya tambahan yang tidak berlipat ganda, dalam artian tidak terlalu banyak [seperti bunga yang persennya kecil untuk pinjaman] bukanlah termasuk riba. Namun adapula yang menyatakan bahwa segala bentuk tambahan atas poko pinjaman ‘الزيادة الإستعلالية’ adalah riba.
Dengan adanya pandangan tersebut maka perlu dipertegas bagaimanakah riba menurut ekonomi syariah.
C.    Riba dalam Ekonomi Syariah
1.    Ekonomi Syariah
Hukum Islam memiliki arti penting dalam kehidupan setiap muslim, meliputi juga dengan transaksi keuangan yang dilakukan oleh setiap muslim di setiap harinya. Terlebih, di zaman modern ini sistem kapitalis telah gagal menerapkan metode ekonominya dan seiring dengan kemunduran sistem ekonomi kapital tersebut, lahir suatu sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syariah.
Sistem ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang berpegang pada kumpulan prinsip tentang ekonomi yang diambil dari al Quran dan al Sunnah dan fondasi ekonomi yang dibangun atas pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan lingkungan dan waktu.
2.    Riba menurut Ekonomi Syariah
Riba yang merupakan tambahan dari suatu pokok merupakan sesuatu yang tidak asing lagi terjadi dalam praktik perjanjian di masyarakat. Oleh karena itu, dengan kelahiran atau teraplikatifkannya sistem ekonomi syariah, seperti akad murabahah, rahn syariah diharapkan agar praktik riba secara perlahan dapat dihilangkan dalam kehidupan masyarakat yang membudaya.
Pada dasarnya, Islam dalam perjanjian perekonomian seperti jual beli, hutang piutang dan semacamnya telah memberikan nilai dasar yang sangat penting untuk dipegangi oleh setiap muslim, yakni لاضرر ولا ضرر [tidak ada perbuatan merugikan dan membalas perbuatan merugikan] dan يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل [larangan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil].
Dari prinsip di atas maka telah jelas bahwa riba yang merupakan pengambilan keuntungan secara tidak sehat dalam sistem perekonomian dan menimbulkan kerugian salah satu pihak, dapat divonis keharaman untuk melakukannya. Dengan demikian, dalam ekonomi syariah riba secara tegas di haramkan.

BAB III
PENUTUP
Riba sebagai salah satu praktik sistem perekonomian sudah terjadi sejak sebelum datangnya Islam. Namun, sampai pada saat ini riba masih menyelimuti dari berbagai praktik perekonomian pada masyarakat modern.
Adapun definisi riba juga berkembang di saat era globalisasi ini, sehingga konsep riba menjadi kabur, khususnya pada masalah bunga (interest) yang akhir-akhir ini dipraktikkan oleh lembaga atau institusi-institusi baik institusi keuangan ataupun institusi perdagangan (bank memberikan bunga; dealer memberikan bunga tambahan pada sistem kredit), hal tersebut menjadikan wacana baru dalam hukum Islam akan adanya pengklasifikasian ke dalam bentuk riba atau bukan? Bahkan masyarakat sudah terbiasa dengan sistem tersebut, yakni transaksi tersebut dilakukan dengan "انت راض" sama-sama sepakat. Inilah pe er untuk para akademisi hukum Islam dalam menanggapi hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Adat Bagi Umat Islam,Yogyakarta: Nur cahaya, 1983.
Ibnu Hajar Al ‘Asqalāni, Bulughul Marām, Alih Bahasa, A. Hassan, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Muhraji, Dahwan, materi yang di sampaikan pada perkuliahan ekonomi syariah, 10 September 2009.
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika, 2003.

No comments:

Post a Comment